MENGGUGAT KOMITMEN DAERAH DALAM PEMBANGUNAN BERBASIS PARISWISATA
(Catatan dari Konferensi Pariwisata Nasional, 5-6 Desember 2011 di Grand Sahid Jaya Jakarta)
Ada yang menarik dari kegiatan bertajuk Konferensi Pariwisata Nasional yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan ekonomi Kreatif yang dipimpin oleh Marie Elka Pangestu yang mengawaki kementerian ini sekitar enam minggu yang lalu, yakni tema yang diusung “ Pembangunan Pariwisata Daerah untuk mendukung Pariwisata Nasional dan Peningkatan Ekonomi Daerah”. Tema ini begitu menggelitik untuk menjadi bahan kajian dan diskusi lebih lanjut, terutama dalam rangka pengalihan peran pembangunan dari Pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah.
Ir. Hattarajasa sebagai Keynote speaker dalam acara tersebut secara apik menyajikan isu-isu aktual seputar problematika perekonomian dunia seperti krisis ekonomi di Eropa dan Amerika yang memasuki ambang batas yang cukup memprihatinkan. Tak bisa dipungkiri bahwa krisis ekonomi global dimaksud dapat berimplikasi pada trend pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada tahun 2011 ini mengalami pertumbuhan yang relatif menggembirakan yakni sekitar 6,5% dan tingkat inflasi sampai pada akhir tahun 2011 sebesar 5%. Bahkan oleh pria berambut putih ini juga menyebutkan optimismenya bahwa pada tahun 2025 Indonesia akan menjadi salah satu dari sepuluh Negara ekonomi besar dunia dengan semakin membaiknya income percapita rata-rata masyarakatnya..
Salah satu sektor yang diharapkan dapat menjadi unggulan dalam menghadapi krisis global adalah sektor Pariwisata. Hal ini secara detail tergambar dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia, yakni dengan memperkuat 3 (tiga) Pilar pembangunan; Infrastruktur, Rasa aman dan Connectivity.
PELUANG DAN TANTANGAN
Tampil sebagai pembicara pertama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu yang secara jujur mengakui bahwa masih belum familiar dengan akronim Pariwisata. Dengan menggunakan kain tenun khas Nusa Tenggara Barat berwarna cokelat yang yampil modis itu mengawali presentasinya dengan prediksi terhadap krisis ekonomi dan ketidakpastian global yang diperkirakan akan berlangsung hingga beberapa tahun mendatang. Namun mantan meteri Perdagangan itu juga menyampaikan optimismenya bahwa Pariwisata Indonesia tidak rentan terhadap krisis sehingga sektor pariwisata dan pasar dalam negeri dapat menjadi sabuk pengaman perekonomian Nasional.
Data dari Word Tourism Organization (WTO), menyebutkan bahwa sektor pariwisata pernah mengalami pertumbuhan negatif selama 15 bulan sekitar tahun 2008 sampai dengan 2009 sebesar –3%, namun sampai pada bulan nopember 2011 kembali mengalami pertumbuhan positif yakni sebesar +4,5%.
Peluang lain yang dimiliki Indonesia adalah bahwa Indonesia merupakan negara archipelago terluas, dan memiliki populasi penduduk terbesar keempat di dunia (± 237 juta orang) Membentang 5.120 kmdari timur ke barat, 1.760 km dari utara ke selatan dan menduduki Peringkat 39 dari Cultural Heritage dari 139 Negara oleh WEF.
Indonesia memilki Hutan Tropis terbesarsetelah Brazil, memiliki 51 Taman Nasional, merupakan negara mega biodiversity ke-3 setelah brazil dan Zaire.
Sekitar 59% daratan di Indonesia merupakan hutan tropis yang menjadi 10%dari total luas hutan di dunia (Stone, 1994).
Terdapat sekitar 110 juta hektar hutan Indonesia tercatat sebagai hutan lindung dimana 18,7 juta hektar menjadi daerah konservasi.
Berbagai data yang disajikan menggambarkan bahwa betapa kekuatan dan potensi pariwisata Indonesia itu bertumpu di berbagai daerah, sehingga dibutuhkan sinergitas yang koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Industri Pariwisata serta stakeholders lainnya
Sayangnya sampai saat ini pada tataran implementasi Pembangunan sektor pariwisata di daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota belum menggembirakan terutama dalam hal budgeting policy dan political will, padahal pada hakekatnya Daerah sesungguhnya adalah pemilik Destinasi.
Bagi daerah pembangunan kepariwisataan akan berdampak pada meningkatnya perekonomian masyarakat, tersedianya lapangan pekerjaan dengan perhitungan minimal bahwa setiap satu orang wisatawan dapat menciptakan 1,5 tenaga kerja, tersedianya sumber penghasilan Daerah terutama dari sektor Pajak, tumbuhnya ekonomi kreatif, meningkatnya perhatian terhadap kualitas lingkungan hidup dan lain-lain. Inilah sesungguhnya yang diharapkan yakni terjadinya Multipliers effect dari hasil pembangunan berbasis pariwisata.
Pada tingkat yang lebih tinggi daerah diharapkan dapat mempunyai Responsibility, Need dan Oppurtunities (RNO) untuk mengembangkan dan menarik manfaat dari sektor pariwisata. Artinya bahwa pariwisata dapat menjadi Golden Oppurtunity bagi daerah. Untuk itu dibutuhkan Strategi dan Roadmap yang spesifik untuk masing-masing daerah terutama dengan memanfaatkan Strategik Mujltidimensional Analysis.
Selain itu memanfaatkan dampak positif dari sisi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dari sektor pariwisata akan sejalan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kata kuncinya adalah Pengambilan sikap yang tepat terhadap pariwisata oleh para Pemimpin Daerah (eksekutif/legislatif) merupakan hal yang NISCAYA.
Ada yang menarik dari kegiatan bertajuk Konferensi Pariwisata Nasional yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan ekonomi Kreatif yang dipimpin oleh Marie Elka Pangestu yang mengawaki kementerian ini sekitar enam minggu yang lalu, yakni tema yang diusung “ Pembangunan Pariwisata Daerah untuk mendukung Pariwisata Nasional dan Peningkatan Ekonomi Daerah”. Tema ini begitu menggelitik untuk menjadi bahan kajian dan diskusi lebih lanjut, terutama dalam rangka pengalihan peran pembangunan dari Pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah.
Ir. Hattarajasa sebagai Keynote speaker dalam acara tersebut secara apik menyajikan isu-isu aktual seputar problematika perekonomian dunia seperti krisis ekonomi di Eropa dan Amerika yang memasuki ambang batas yang cukup memprihatinkan. Tak bisa dipungkiri bahwa krisis ekonomi global dimaksud dapat berimplikasi pada trend pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada tahun 2011 ini mengalami pertumbuhan yang relatif menggembirakan yakni sekitar 6,5% dan tingkat inflasi sampai pada akhir tahun 2011 sebesar 5%. Bahkan oleh pria berambut putih ini juga menyebutkan optimismenya bahwa pada tahun 2025 Indonesia akan menjadi salah satu dari sepuluh Negara ekonomi besar dunia dengan semakin membaiknya income percapita rata-rata masyarakatnya..
Salah satu sektor yang diharapkan dapat menjadi unggulan dalam menghadapi krisis global adalah sektor Pariwisata. Hal ini secara detail tergambar dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia, yakni dengan memperkuat 3 (tiga) Pilar pembangunan; Infrastruktur, Rasa aman dan Connectivity.
PELUANG DAN TANTANGAN
Tampil sebagai pembicara pertama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu yang secara jujur mengakui bahwa masih belum familiar dengan akronim Pariwisata. Dengan menggunakan kain tenun khas Nusa Tenggara Barat berwarna cokelat yang yampil modis itu mengawali presentasinya dengan prediksi terhadap krisis ekonomi dan ketidakpastian global yang diperkirakan akan berlangsung hingga beberapa tahun mendatang. Namun mantan meteri Perdagangan itu juga menyampaikan optimismenya bahwa Pariwisata Indonesia tidak rentan terhadap krisis sehingga sektor pariwisata dan pasar dalam negeri dapat menjadi sabuk pengaman perekonomian Nasional.
Data dari Word Tourism Organization (WTO), menyebutkan bahwa sektor pariwisata pernah mengalami pertumbuhan negatif selama 15 bulan sekitar tahun 2008 sampai dengan 2009 sebesar –3%, namun sampai pada bulan nopember 2011 kembali mengalami pertumbuhan positif yakni sebesar +4,5%.
Peluang lain yang dimiliki Indonesia adalah bahwa Indonesia merupakan negara archipelago terluas, dan memiliki populasi penduduk terbesar keempat di dunia (± 237 juta orang) Membentang 5.120 kmdari timur ke barat, 1.760 km dari utara ke selatan dan menduduki Peringkat 39 dari Cultural Heritage dari 139 Negara oleh WEF.
Indonesia memilki Hutan Tropis terbesarsetelah Brazil, memiliki 51 Taman Nasional, merupakan negara mega biodiversity ke-3 setelah brazil dan Zaire.
Sekitar 59% daratan di Indonesia merupakan hutan tropis yang menjadi 10%dari total luas hutan di dunia (Stone, 1994).
Terdapat sekitar 110 juta hektar hutan Indonesia tercatat sebagai hutan lindung dimana 18,7 juta hektar menjadi daerah konservasi.
Berbagai data yang disajikan menggambarkan bahwa betapa kekuatan dan potensi pariwisata Indonesia itu bertumpu di berbagai daerah, sehingga dibutuhkan sinergitas yang koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Industri Pariwisata serta stakeholders lainnya
Sayangnya sampai saat ini pada tataran implementasi Pembangunan sektor pariwisata di daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota belum menggembirakan terutama dalam hal budgeting policy dan political will, padahal pada hakekatnya Daerah sesungguhnya adalah pemilik Destinasi.
Bagi daerah pembangunan kepariwisataan akan berdampak pada meningkatnya perekonomian masyarakat, tersedianya lapangan pekerjaan dengan perhitungan minimal bahwa setiap satu orang wisatawan dapat menciptakan 1,5 tenaga kerja, tersedianya sumber penghasilan Daerah terutama dari sektor Pajak, tumbuhnya ekonomi kreatif, meningkatnya perhatian terhadap kualitas lingkungan hidup dan lain-lain. Inilah sesungguhnya yang diharapkan yakni terjadinya Multipliers effect dari hasil pembangunan berbasis pariwisata.
Pada tingkat yang lebih tinggi daerah diharapkan dapat mempunyai Responsibility, Need dan Oppurtunities (RNO) untuk mengembangkan dan menarik manfaat dari sektor pariwisata. Artinya bahwa pariwisata dapat menjadi Golden Oppurtunity bagi daerah. Untuk itu dibutuhkan Strategi dan Roadmap yang spesifik untuk masing-masing daerah terutama dengan memanfaatkan Strategik Mujltidimensional Analysis.
Selain itu memanfaatkan dampak positif dari sisi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dari sektor pariwisata akan sejalan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kata kuncinya adalah Pengambilan sikap yang tepat terhadap pariwisata oleh para Pemimpin Daerah (eksekutif/legislatif) merupakan hal yang NISCAYA.
SEHARI DI LUYO
Oleh : Darwin Badaruddin
(Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Polewali Mandar)
Sehari sebelum perhelatan seminar kebudayaan bertajuk “Menemukenali situs Allamungan (Lamungan) Batu di Luyo” Harian Radar Sulbar edisi 3 Juli 2011 memuat mengenai rencana pelaksanaan seminar yang awalnya direncanakan akan menghadirkan tokoh besar Mandar (Alm) Prof. Darmawan Mas’ud, M.Sc sebagai pembicara utama. Sayangnya beliau wafat beberapa hari sebelum acara itu berlangsung. Pemikiran inilah yang mendasari saya untuk mengajak segenap peserta dan undangan yang hadir pada seminar yang dilaksanakan pada hari senin, 4 Juli 2011 di pelataran kantor camat Luyo.
Ada beberapa catatan penting yang rasanya patut saya ungkapkan dalam tulisan ini baik dari sisi persiapan pelaksanaan sampai pada proses dan pasca pelaksanaan seminar ini.
Usai mengikuti apel bersama di halaman kantor Bupati Polewali Mandar saya segera menuju Hotel Ratih Polewali untuk menjemput dua orang narasumber yakni Bapak Suradi Yasil (Budayawan) dan Bapak Syahrawi dari Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Makassar. Di sepanjang jalan kami sudah mulai terlibat dalam diskusi ringan tentang keberadaan situs yang keberadaannya sangat berpengaruh dalam rekam jejak sejarah khususnya di Wilayah Mandar (baca:sekarang Sulawesi Barat)
Dua buah baligho berukuran sedang yang berisi tentang pelaksanaan seminar ini terpampang di pertigaan jalan poros Luyo – Tubbi (Panyingkul). Saya menangkap kesan kesungguhan dari teman-teman pemuda yang ada di Luyo pada acara ini. Kondisi jalan yang rusak membuat perjalanan ke lokasi peksanaan seminar ini sedikit memakan waktu, mengingat kendaraan yang kami gunakan harus bergerak pelan.
Jelang acara Open ceremony adrenalin saya benar-benar terpacu oleh kendala teknis seperti sound system yang mengalami kemacetan. Panitia lokal kelihatannya terus berupaya mengatasi kendala, didampingi camat Luyo A. Bebas Manggazali yang juga kelihatan mulai gelisah dengan gangguan teknis itu. Akhirnya tepat jam 10.00 kami sepakat untuk memulai acara meski kendala teknis tersebut belum teratasi.
Pada saat memberikan sambutan atas nama Bupati Polewali Mandar, saya mencoba untuk memberikan gambaran tentang proses lahirnya gagasan untuk pelaksanaan seminar kebudayaan ini.
Berangkat dari kondisi monumen situs cagar budaya Allamungan Batu di Luyo yang secara fisik Nampak sangat memprihatinkan dimana pada beberapa bagian bangunan sudah mengalami kerusakan. Untuk itu dibutuhkan kearifan kita bersama untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan situs yang sangat bersejarah ini.
Kehadiran Ketua DPRD Polewali Mandar Bapak H. Abdullah Tato sekaligus memberikan apresiasi dan menyatakan bahwa inti dari peristiwa bersejarah di Luyo yang kemudian melahirkan semangat persatuan dan kesatuan dari perserikatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga telah menjadi catatan penting dalam sejarah dan peradaban masyarakat di Sulawesi Barat.
Allamungan Batu di Luyo dalam Prespektif Arkeologi
Dalam prespektif arkeologi, Narasumber Pertama Drs. Syahrawi Mannan pembantu pimpinan Balai Pelestarian Pen inggalan Purbakala Makassar mengungkapkan bahwa Situs Allamungan Batu di Luyo adalah merupakan 2 (dua) buah batu berbahan andesit: batu 1 (ukuran batu yang nampak sekitar 30 cm tinggi dan tebal 20 cm) bentuknya cederung persegi empat memanjang dengan sudut yang melengkung (tumpul); serta batu 2 yang bentuknya pipih melebar yang cenderung persegi empat (ukuran batu yang nampak sekitar 18 cm tinggi, lebar 30cm dan ketebalan sekitar 10 cm).
Dimensi keseluruhan kedua batu tidak dapat diketahui karena tertanam pada sebuah bangunan yang telah ditinggikan dan di bagian atas masing-masing batu saat ini tertutupi oleh campuran semen sehingga sulit untuk mengetahui bentuk utuhnya.
Kedua batu nampaknya telah mengalami proses pemangkasan untuk keperluan pembentukan dan penghalusan permukaan.
Warna batu telah memudar dari warna dasarnya (hitam) akibat proses pelapukan secara alami dalam kurun waktu yang lama, serta partikel-partikel penyusun batuan cenderung merenggang atau nampak tidak kompak lagi.
Pada beberapa bidang permukaan batu nampak aus serta tidak ditemukan hiasan pada permukaan kedua batu.
Identifikasi bentuk fisik, teknologi pembuatan dan stylistik pada kedua batu menunjukkan ciri-ciri ke-kuno-an sebagai tinggalan purbakala,
Untuk bisa mengungkap lebih banyak informasi terkait lokasi keberadaan benda cagar budaya, dipandang perlu melakukan kegiatan penelitian berupa ekskavasi arkeologi.
Situs Allamungan Batu di Luyo dalam prespektif kesejarahan dan kebudayaan
Dalam seminar yang dihadiri oleh beberapa orang tokoh dari Pitu Ulunna Salu dan Pitu baqbana Binanga Bapak Suradi Yasil mengungkap beberapa hal dan keistimewaan Allamungan Batu di Luyo baik dari prespektif kesejarahan maupun prespektif budaya.
Peristiwa Allamungan Batu di Luyo yang melahirkan beberapa konsensus antara perserikatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga yakni saling menjaga kedaulatan dan kehormatan dalam bingkai persatuan dalam konsep luhur “Sipamandaq” . Lebih jauh lelaki dengan cirri jenggot putih ini mengungkapkan bahwa peristiwa Allamungan Batu di Luyo adalah sebuah peristiwa sejarah dan politik yang teramat besar yang getarnya trerasa hingga saat ini. Bahkan oleh lelaki kelahiran mandar ini juga dinyatakan bahwa apa yang kita lakukan hari ini sudah barang tentu akan melahirkan getar sejarah pada masa yang akan datang.
Yang paling penting menurutnya adalah bagaimana kita bisa mewarisi sistem nilai yang terkandung dalam peristiwa ini.
Saya memilih bergabung dengan peserta yang duduk pada bagian paling belakang bersama beberapa kawan dari Teater Flamboyant Mandar dan penggiat seni di Mandar. Hal ini saya maksudkan untuk bisa lebih dekat menyelami pikiran mereka menyangkut bagaimana bentuk dan desain Pengembangan Situs Allamungan Batu di Luyo jika kelak suatu saat mengalami proses re-vitalisasi.
Seminar pun menjadi hangat tatkala moderator Muhammad Ilyas Yakub yang juga adalah sekertaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Polewali Mandar mempersilahkan peserta untuk bverdiskusi.
Beberapa orang peserta langsung menyahuti tawaran moderator dengan mengajukan pendapat dan pertanyaan. Jadilah seminar hari itu menjadi sebuah ajang yang seolah-olah setiap orang berupaya untuk menyeberangi dimensi waktu masa lampau. Seminar ini pun tak luput dari perdebatan menyangkut beberapa hal, mulai dari Istilah “Allamungan” atau “lamungan” yang kemudian disepakati untuk tidak dipertentangkan mengingat hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa yang digunakan di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Hal lain yang menjadi rapai dibicarakan adalah tentang kapan peristiwa itu terjadi? Dalam makalah yang disampaikan oleh Syahrawi Mannan disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar abad XIV dengan mengaitkan peristiwa kembalinya I Manyambungi ke tanah Mandar. Meskipun demikian beberapa peserta diskusi berpendapat bahwa untuk mengetahui persis kejadian tersebut dibutuhkan kajian sejarah yang objektif menyangkut peristiwa bersejarah ini.
Pada bagian akhir seminar terjadi perdebatan yang cukup alot antara Ramli Rusli dari Teter Flamboyant Mandar dengan Hakim Pariwalino saat merumuskan Rekomendasi atas pelaksanaan seminar, namun pada akhirnya perdebatan itu justru mengarah pada lahirnya sebuah rekomendasi yang disepakati oleh semua pihak, antara lain : pertama, re-vitalisasi situs allamungan Batu di Luyo dan benda cagar budaya lainnya dikembalikan pada bentuk dan posisi semula, kedua; apabila re-vitalisasi situs Allamungan Batu di Luyo akan dilakukan maka terlebih dahulu dilakukan workshop dengan melibatkan para ahli di bidangnya, ketiga ; dalam hal pembebasan lahan untuk kepentingan Zonasi pada Situs Allamungan Batu dilakukan dengan tidak merugikan Pemerintah dan tidak mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat pemilik lahan.
Acarapun di akhiri dengan pemberian penghargaan kepada Narasumber, Perwkilan panitia dan Peserta dengan sebuah harapan semoga apa yang berkembang pada seminar ini dapat maujud dalam sebuiah bentuk kepedulian dan perhatian terhadap Pelestarian, Pemeliharaan dan Pengembangan situs Allamungan batu di luyo.
(Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Polewali Mandar)
Sehari sebelum perhelatan seminar kebudayaan bertajuk “Menemukenali situs Allamungan (Lamungan) Batu di Luyo” Harian Radar Sulbar edisi 3 Juli 2011 memuat mengenai rencana pelaksanaan seminar yang awalnya direncanakan akan menghadirkan tokoh besar Mandar (Alm) Prof. Darmawan Mas’ud, M.Sc sebagai pembicara utama. Sayangnya beliau wafat beberapa hari sebelum acara itu berlangsung. Pemikiran inilah yang mendasari saya untuk mengajak segenap peserta dan undangan yang hadir pada seminar yang dilaksanakan pada hari senin, 4 Juli 2011 di pelataran kantor camat Luyo.
Ada beberapa catatan penting yang rasanya patut saya ungkapkan dalam tulisan ini baik dari sisi persiapan pelaksanaan sampai pada proses dan pasca pelaksanaan seminar ini.
Usai mengikuti apel bersama di halaman kantor Bupati Polewali Mandar saya segera menuju Hotel Ratih Polewali untuk menjemput dua orang narasumber yakni Bapak Suradi Yasil (Budayawan) dan Bapak Syahrawi dari Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Makassar. Di sepanjang jalan kami sudah mulai terlibat dalam diskusi ringan tentang keberadaan situs yang keberadaannya sangat berpengaruh dalam rekam jejak sejarah khususnya di Wilayah Mandar (baca:sekarang Sulawesi Barat)
Dua buah baligho berukuran sedang yang berisi tentang pelaksanaan seminar ini terpampang di pertigaan jalan poros Luyo – Tubbi (Panyingkul). Saya menangkap kesan kesungguhan dari teman-teman pemuda yang ada di Luyo pada acara ini. Kondisi jalan yang rusak membuat perjalanan ke lokasi peksanaan seminar ini sedikit memakan waktu, mengingat kendaraan yang kami gunakan harus bergerak pelan.
Jelang acara Open ceremony adrenalin saya benar-benar terpacu oleh kendala teknis seperti sound system yang mengalami kemacetan. Panitia lokal kelihatannya terus berupaya mengatasi kendala, didampingi camat Luyo A. Bebas Manggazali yang juga kelihatan mulai gelisah dengan gangguan teknis itu. Akhirnya tepat jam 10.00 kami sepakat untuk memulai acara meski kendala teknis tersebut belum teratasi.
Pada saat memberikan sambutan atas nama Bupati Polewali Mandar, saya mencoba untuk memberikan gambaran tentang proses lahirnya gagasan untuk pelaksanaan seminar kebudayaan ini.
Berangkat dari kondisi monumen situs cagar budaya Allamungan Batu di Luyo yang secara fisik Nampak sangat memprihatinkan dimana pada beberapa bagian bangunan sudah mengalami kerusakan. Untuk itu dibutuhkan kearifan kita bersama untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan situs yang sangat bersejarah ini.
Kehadiran Ketua DPRD Polewali Mandar Bapak H. Abdullah Tato sekaligus memberikan apresiasi dan menyatakan bahwa inti dari peristiwa bersejarah di Luyo yang kemudian melahirkan semangat persatuan dan kesatuan dari perserikatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga telah menjadi catatan penting dalam sejarah dan peradaban masyarakat di Sulawesi Barat.
Allamungan Batu di Luyo dalam Prespektif Arkeologi
Dalam prespektif arkeologi, Narasumber Pertama Drs. Syahrawi Mannan pembantu pimpinan Balai Pelestarian Pen inggalan Purbakala Makassar mengungkapkan bahwa Situs Allamungan Batu di Luyo adalah merupakan 2 (dua) buah batu berbahan andesit: batu 1 (ukuran batu yang nampak sekitar 30 cm tinggi dan tebal 20 cm) bentuknya cederung persegi empat memanjang dengan sudut yang melengkung (tumpul); serta batu 2 yang bentuknya pipih melebar yang cenderung persegi empat (ukuran batu yang nampak sekitar 18 cm tinggi, lebar 30cm dan ketebalan sekitar 10 cm).
Dimensi keseluruhan kedua batu tidak dapat diketahui karena tertanam pada sebuah bangunan yang telah ditinggikan dan di bagian atas masing-masing batu saat ini tertutupi oleh campuran semen sehingga sulit untuk mengetahui bentuk utuhnya.
Kedua batu nampaknya telah mengalami proses pemangkasan untuk keperluan pembentukan dan penghalusan permukaan.
Warna batu telah memudar dari warna dasarnya (hitam) akibat proses pelapukan secara alami dalam kurun waktu yang lama, serta partikel-partikel penyusun batuan cenderung merenggang atau nampak tidak kompak lagi.
Pada beberapa bidang permukaan batu nampak aus serta tidak ditemukan hiasan pada permukaan kedua batu.
Identifikasi bentuk fisik, teknologi pembuatan dan stylistik pada kedua batu menunjukkan ciri-ciri ke-kuno-an sebagai tinggalan purbakala,
Untuk bisa mengungkap lebih banyak informasi terkait lokasi keberadaan benda cagar budaya, dipandang perlu melakukan kegiatan penelitian berupa ekskavasi arkeologi.
Situs Allamungan Batu di Luyo dalam prespektif kesejarahan dan kebudayaan
Dalam seminar yang dihadiri oleh beberapa orang tokoh dari Pitu Ulunna Salu dan Pitu baqbana Binanga Bapak Suradi Yasil mengungkap beberapa hal dan keistimewaan Allamungan Batu di Luyo baik dari prespektif kesejarahan maupun prespektif budaya.
Peristiwa Allamungan Batu di Luyo yang melahirkan beberapa konsensus antara perserikatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga yakni saling menjaga kedaulatan dan kehormatan dalam bingkai persatuan dalam konsep luhur “Sipamandaq” . Lebih jauh lelaki dengan cirri jenggot putih ini mengungkapkan bahwa peristiwa Allamungan Batu di Luyo adalah sebuah peristiwa sejarah dan politik yang teramat besar yang getarnya trerasa hingga saat ini. Bahkan oleh lelaki kelahiran mandar ini juga dinyatakan bahwa apa yang kita lakukan hari ini sudah barang tentu akan melahirkan getar sejarah pada masa yang akan datang.
Yang paling penting menurutnya adalah bagaimana kita bisa mewarisi sistem nilai yang terkandung dalam peristiwa ini.
Saya memilih bergabung dengan peserta yang duduk pada bagian paling belakang bersama beberapa kawan dari Teater Flamboyant Mandar dan penggiat seni di Mandar. Hal ini saya maksudkan untuk bisa lebih dekat menyelami pikiran mereka menyangkut bagaimana bentuk dan desain Pengembangan Situs Allamungan Batu di Luyo jika kelak suatu saat mengalami proses re-vitalisasi.
Seminar pun menjadi hangat tatkala moderator Muhammad Ilyas Yakub yang juga adalah sekertaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Polewali Mandar mempersilahkan peserta untuk bverdiskusi.
Beberapa orang peserta langsung menyahuti tawaran moderator dengan mengajukan pendapat dan pertanyaan. Jadilah seminar hari itu menjadi sebuah ajang yang seolah-olah setiap orang berupaya untuk menyeberangi dimensi waktu masa lampau. Seminar ini pun tak luput dari perdebatan menyangkut beberapa hal, mulai dari Istilah “Allamungan” atau “lamungan” yang kemudian disepakati untuk tidak dipertentangkan mengingat hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa yang digunakan di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Hal lain yang menjadi rapai dibicarakan adalah tentang kapan peristiwa itu terjadi? Dalam makalah yang disampaikan oleh Syahrawi Mannan disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar abad XIV dengan mengaitkan peristiwa kembalinya I Manyambungi ke tanah Mandar. Meskipun demikian beberapa peserta diskusi berpendapat bahwa untuk mengetahui persis kejadian tersebut dibutuhkan kajian sejarah yang objektif menyangkut peristiwa bersejarah ini.
Pada bagian akhir seminar terjadi perdebatan yang cukup alot antara Ramli Rusli dari Teter Flamboyant Mandar dengan Hakim Pariwalino saat merumuskan Rekomendasi atas pelaksanaan seminar, namun pada akhirnya perdebatan itu justru mengarah pada lahirnya sebuah rekomendasi yang disepakati oleh semua pihak, antara lain : pertama, re-vitalisasi situs allamungan Batu di Luyo dan benda cagar budaya lainnya dikembalikan pada bentuk dan posisi semula, kedua; apabila re-vitalisasi situs Allamungan Batu di Luyo akan dilakukan maka terlebih dahulu dilakukan workshop dengan melibatkan para ahli di bidangnya, ketiga ; dalam hal pembebasan lahan untuk kepentingan Zonasi pada Situs Allamungan Batu dilakukan dengan tidak merugikan Pemerintah dan tidak mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat pemilik lahan.
Acarapun di akhiri dengan pemberian penghargaan kepada Narasumber, Perwkilan panitia dan Peserta dengan sebuah harapan semoga apa yang berkembang pada seminar ini dapat maujud dalam sebuiah bentuk kepedulian dan perhatian terhadap Pelestarian, Pemeliharaan dan Pengembangan situs Allamungan batu di luyo.