MAKAM TODILALING
Situs ini berada di Desa Napo, Kecamatan Limboro Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat. I Manyambungi atau lebih dikenal dengan nama Todilaling Raja Balanipa I (pertama). Posisi kerajaan Balanipa dalam Pitu Ba`bana Binanga adalah sebagai bapak/ketua dan sekaligus sebagai pemeran pokok dalam sejarah perkembangan kerajaan –kerajaan di Pitu Ba`bana Binanga. I Manyambungi berasal dari Napo, semasa kecil beliau sering bersabung ayam dengan sepupunya anak
Tomakaka Napo. Suatu ketika I Manyambungi bersama sepupunya tersebut mengadakan adu ayam (sabung ayam) namun ayam I Manyambungi pada saat itu kalah dan akhirnya I Manyambungi membunuh sepupunya karena merasa malu. Karena peristiwa itulah beliau melarikan diri ke Gowa dengan menumpang perahu Makassar atas usulan Pappuangan Mosso di Campalagian. Setelah sampai di Gowa Ia ditempa menjadi “Juak” anggota militer kerajaan Gowa bahkan pihak kerajaan Gowa pada waktu itu member kepercayaan kepadanya untuk memimpin tentara memerangi musuh – musuh kerajaan Gowa.
Kepopuleran I Manyambungi tersebut didengar oleh pemuka – pemuka masyarakat di daerah asalnya (Mandar), diperburuk oleh adanya kekacauan di dalam negeri waktu itu. Kondisi ini dimanfaatkan sebaik – baiknya oleh pemuka masyarakat untuk menghadap raja Gowa, meminta agar mengembalikan I Manyambungi ke Tanah kelahirannya (Tanah Mandar). Kehadiran I Manyambungi sangat diharapkan, memulihkan tanah Mandar dari kekacauan.
Kembalinya I Manyambungi dari Perantauan sekaligus merupakan tonggak sejarah baru bagi kerajaan Balanipa.
I Manyambungi yang bergelar Todilaling diangkat sebagai Raja Balanipa I dengan meliputi Appeq Banua Kaiyyang (Empat Kampung Besar), yakni Napo, Samasundu, Todang – Todang dan Mosso.
I Manyambungi mempersunting seorang gadis anak keluarga raja Gowa yang dari perkawinan itu lahirlah Tomepayung Raja Balanipa kedua.
Tomakaka Napo. Suatu ketika I Manyambungi bersama sepupunya tersebut mengadakan adu ayam (sabung ayam) namun ayam I Manyambungi pada saat itu kalah dan akhirnya I Manyambungi membunuh sepupunya karena merasa malu. Karena peristiwa itulah beliau melarikan diri ke Gowa dengan menumpang perahu Makassar atas usulan Pappuangan Mosso di Campalagian. Setelah sampai di Gowa Ia ditempa menjadi “Juak” anggota militer kerajaan Gowa bahkan pihak kerajaan Gowa pada waktu itu member kepercayaan kepadanya untuk memimpin tentara memerangi musuh – musuh kerajaan Gowa.
Kepopuleran I Manyambungi tersebut didengar oleh pemuka – pemuka masyarakat di daerah asalnya (Mandar), diperburuk oleh adanya kekacauan di dalam negeri waktu itu. Kondisi ini dimanfaatkan sebaik – baiknya oleh pemuka masyarakat untuk menghadap raja Gowa, meminta agar mengembalikan I Manyambungi ke Tanah kelahirannya (Tanah Mandar). Kehadiran I Manyambungi sangat diharapkan, memulihkan tanah Mandar dari kekacauan.
Kembalinya I Manyambungi dari Perantauan sekaligus merupakan tonggak sejarah baru bagi kerajaan Balanipa.
I Manyambungi yang bergelar Todilaling diangkat sebagai Raja Balanipa I dengan meliputi Appeq Banua Kaiyyang (Empat Kampung Besar), yakni Napo, Samasundu, Todang – Todang dan Mosso.
I Manyambungi mempersunting seorang gadis anak keluarga raja Gowa yang dari perkawinan itu lahirlah Tomepayung Raja Balanipa kedua.
MAKAM TOMEPAYUNG
KOMPLEKS MAKAM TUAN LANGARANG
Situs ini berada di desa Samsundu, Kecamatan Limboro , Kabupaten Polman, berjarak sekitar 3 km dari ibukota kecamatan Tinambung Letak situs dari jalan desa sudah diaspal berjarak sekitar 150 meter kearah selatan harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan setapak pemukiman, sebelah barat dengan kebun pisang, sebelah selatan dan timur dengan kebun pisang dan kelapa, pada ketinggian sekitar 40 meter dari permukaan laut. Keseluruhan makam di situs itu, berjumlah 4 buah dengan rincian 3 besar, dan 1 ukuran kecil berada dalam sebuah rumah atau cungkup dengan dinding tembok dan atap seng. Kondisi fisik sebenarnya cukup terawat karena oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar telah menempatkan seorang juru pelihara ( PNS ) namun karena ulah sekelompok oknum yang mengaku keluarga tokoh yang dimakamkan memberikan cat perak seluruh komponen makam sehingga nampak makam tidak asli. Tokoh utama yang dimakamkan adalah tuan Lamgngarang, beliau selain seorang putra bangsawan yang sangat berjiwa social dikenal pula sebagai muballig atau penganjur agama Islam didaerah Mandar yang memiliki sejumlah kesaktian. Menurut informasi, konon sewaktu akan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci kendaraan yang ditumpangi bukanlah kapal atau perahu malainkan laopi – lopi kelapa ( anjoro ) di samping kesaktian lainnya dapat mendatangkan hujan lewat doanyan sehingga beliau juga dianggap seorang wali Allah.
Makam lainnya adalah makam Puang di Pangale, Puang ri Camba, dan makam anaknya Puang di Pangale. Menilik bentuk bangunan makam khususnya jirat atau kijing makam Nampak dibuat dengan cara memahat sedemikian rupa sebuah batu monolit ( peti batu ) yang akhirnya terbentuk sebuah bangunan berundak lengkap dengan gunungan yang terletak pada kaki da kepala jirat dan di atas atau di tengah jirat ditancapkan nisan bentuk gada bermahkota maupun Nisan pipih menyerupai trisula.
Nisan bentuk gada bermahkota adalah nisan yang bentuk dasarnya bulat ( bundar ) dan pada bagian kepala di bentuk sedemikian rupa menyerupai mahkota ataupun kopiah sedang bagian dasarnya dipahat membentuk bidang – bidang. Nisan bentuk pipih adalah nisan yang bentuk dasarnya tipis dan pada puncak dibuat meruncing menyerupai mata tombak.
Hal yang menarik dari bagian – bagian makam di kompleks ini adalah bahwa bangunan makam seakan – akan tidak langsung di lokasi tersebut namun dibuat ditempat lain kemudian dipindahkan ketempatnya yang sekarang. Asumsi ini didasarkan pada kedudukan jirat atau kijing makam yang tidak menyatu dengan tanah disekelilingnya bahkan dasarnya ditopang sejumlah batu karang. Bahkan bahan baku pembuatan makam seluruhnya dari batu karang. Pola hias yang mendominasi jirat dan nia\san adalah pola hias sulu – suluran floraistis dan geometris dalam bentuk pilin ganda, dibuat dengan menggores ( incise ). Inskripsi sebagai salah satu dasar yang dapat memberikan petunjuk dalam mengungkap identitas yang dimakamkan tidak ditemukan sama sekali.
Ukuran makam sebagai berikut :
Makam lainnya adalah makam Puang di Pangale, Puang ri Camba, dan makam anaknya Puang di Pangale. Menilik bentuk bangunan makam khususnya jirat atau kijing makam Nampak dibuat dengan cara memahat sedemikian rupa sebuah batu monolit ( peti batu ) yang akhirnya terbentuk sebuah bangunan berundak lengkap dengan gunungan yang terletak pada kaki da kepala jirat dan di atas atau di tengah jirat ditancapkan nisan bentuk gada bermahkota maupun Nisan pipih menyerupai trisula.
Nisan bentuk gada bermahkota adalah nisan yang bentuk dasarnya bulat ( bundar ) dan pada bagian kepala di bentuk sedemikian rupa menyerupai mahkota ataupun kopiah sedang bagian dasarnya dipahat membentuk bidang – bidang. Nisan bentuk pipih adalah nisan yang bentuk dasarnya tipis dan pada puncak dibuat meruncing menyerupai mata tombak.
Hal yang menarik dari bagian – bagian makam di kompleks ini adalah bahwa bangunan makam seakan – akan tidak langsung di lokasi tersebut namun dibuat ditempat lain kemudian dipindahkan ketempatnya yang sekarang. Asumsi ini didasarkan pada kedudukan jirat atau kijing makam yang tidak menyatu dengan tanah disekelilingnya bahkan dasarnya ditopang sejumlah batu karang. Bahkan bahan baku pembuatan makam seluruhnya dari batu karang. Pola hias yang mendominasi jirat dan nia\san adalah pola hias sulu – suluran floraistis dan geometris dalam bentuk pilin ganda, dibuat dengan menggores ( incise ). Inskripsi sebagai salah satu dasar yang dapat memberikan petunjuk dalam mengungkap identitas yang dimakamkan tidak ditemukan sama sekali.
Ukuran makam sebagai berikut :
- Makam yang besar, berukuran : Tinggi = 95 cm, lebar = 57 cm, Panjang = 120 cm
- Makam yang sedang, berukuran : Tinggi = 137 cm, Lebar = 71 cm, Panjang = 95 cm
- Makam yang kecil, berukuran : Tinggi = 121 cm, Lebar = 56 cm, Panjang = 72 cm
MAKAM PUANG TOBARANI
Sesuai dengan namanya, maka di kompleks ini dimakamkan seorang panglima perang kerajaan Balanipa dan keluarganya. Makam ini pada waktu – waktu tertentu masih sering dikunjungi masyarakat Mandar dan sekitarnya.
Situs ini secara administratif berada dalam wilayah desa Tandung, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar. Untuk sampai ke lokasi tersebut dapat ditempuh melalui jalan desa yang sudah diaspal berjarak sekitar 1 km dari poros jalan utama Polewali – Majene. Kompleks makam ini terletak di belakang rumah penduduk yang berbatasan sebelah utara dengan kebun/hutan. Demikian pula sebelah baratnya, sedangkan sebelah timur dan selatan dengan pemukiman dan telah dipagar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar seluas 40 x 35 meter dengan status tanah milik pribadi/perorangan.
Untuk merawat dan memelihara kebersihan makam oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar telah menempatkan seorang tenaga juru pelihara honor. Jumlah makam yang ada sekitar 125 buah dengan klasifikasi makam yang besar 7 buah, sedang 110 buah dan makam yang kecil 21 buah, dengan orientasi makam utara – selatan sehingga dikategorikan sebagai makam Islam.
Bila diperhatikan dengan seksama nampak bahwa bangunan jirat makam, baik bentuk maupun teknik pembuatannya tidak berbeda dengan makam pada kompleks makam lainnya yaitu hanya berupa sebuah bangunan berundak dari sebuah batu monolit dilengkapi dengan atau tanpa gunungan dengan nisan 1 atau 2 buah bentuk lainnya berupa system papan batu yang dibuat dengan cara susun timbun. Selain itu nampaknya di kompleks ini ada beberapa bangunan makam yang sangat spesifik yaitu jirat makam yang dibuat dari batu monolit dalam ukuran kecil kemudian dipahat membentuk sebuah makam lengkap dengan gunungan dan 2 buah nisan, gunungan dn ini seakan menyatu dengan bentukan nisan balok dengan puncak melebar, bulat. Adapun bentuk nisan pada kompleks makam ini selain bentuk hulu keris dan gada yang selalu ditancapkan secara berpasangan pada sebuah jirat, terdapat pula beberapa buah nisan bentuk batu tegak dn nisan selindrik (balok).
Hiasan yang mengisi bidang – bidang jirat makam, nisan maupun gunungan makam terdiri dari ragam hias sulur – sulur pilin (spiral) dan tumpal, dengan cara pembuatan dengan memahat batu makam sehingga memunculkan sebuah hiasan dekoratif dalam bentuk ornament – ornament timbul.
Situs ini secara administratif berada dalam wilayah desa Tandung, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar. Untuk sampai ke lokasi tersebut dapat ditempuh melalui jalan desa yang sudah diaspal berjarak sekitar 1 km dari poros jalan utama Polewali – Majene. Kompleks makam ini terletak di belakang rumah penduduk yang berbatasan sebelah utara dengan kebun/hutan. Demikian pula sebelah baratnya, sedangkan sebelah timur dan selatan dengan pemukiman dan telah dipagar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar seluas 40 x 35 meter dengan status tanah milik pribadi/perorangan.
Untuk merawat dan memelihara kebersihan makam oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar telah menempatkan seorang tenaga juru pelihara honor. Jumlah makam yang ada sekitar 125 buah dengan klasifikasi makam yang besar 7 buah, sedang 110 buah dan makam yang kecil 21 buah, dengan orientasi makam utara – selatan sehingga dikategorikan sebagai makam Islam.
Bila diperhatikan dengan seksama nampak bahwa bangunan jirat makam, baik bentuk maupun teknik pembuatannya tidak berbeda dengan makam pada kompleks makam lainnya yaitu hanya berupa sebuah bangunan berundak dari sebuah batu monolit dilengkapi dengan atau tanpa gunungan dengan nisan 1 atau 2 buah bentuk lainnya berupa system papan batu yang dibuat dengan cara susun timbun. Selain itu nampaknya di kompleks ini ada beberapa bangunan makam yang sangat spesifik yaitu jirat makam yang dibuat dari batu monolit dalam ukuran kecil kemudian dipahat membentuk sebuah makam lengkap dengan gunungan dan 2 buah nisan, gunungan dn ini seakan menyatu dengan bentukan nisan balok dengan puncak melebar, bulat. Adapun bentuk nisan pada kompleks makam ini selain bentuk hulu keris dan gada yang selalu ditancapkan secara berpasangan pada sebuah jirat, terdapat pula beberapa buah nisan bentuk batu tegak dn nisan selindrik (balok).
Hiasan yang mengisi bidang – bidang jirat makam, nisan maupun gunungan makam terdiri dari ragam hias sulur – sulur pilin (spiral) dan tumpal, dengan cara pembuatan dengan memahat batu makam sehingga memunculkan sebuah hiasan dekoratif dalam bentuk ornament – ornament timbul.
KOMPLEKS MAKAM PALLABUANG
Makam ini terletak di lingkungan Paggiling, Kelurahan Tinambung, Kecamatan Tinambung berada pada ketinggian 70 meter dari permukaan laut. Situs ini dapat dijangkau dengan melewati setapak mendaki yang berjarak 500 meter dari ibukota kecamatan Tinambung. Situs ini terletak di sebuah bukit dengan lingkungan alamnya dipenuhi tanaman palawija seperti kelapa dan pisang.
Kompleks makam ini telah dipagar, dan untuk merawat serta memelihara kompleks makam ini telah ditempatkan juru pelihara ( honor ) dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
Status kepemilikan tanah oleh keluarga Maraddia (H. A. Manda ). Jumlah makam dikompleks ini sekitar 95 buah dan telah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Dari sejumlah makam yang ada hanya beberapa buah yang diketahui identitasnya yaitu :
Bangunan / jirat makam yang besar berjumlah 21 buah, berukuran :
Panjang : 364 cm, Lebar : 223 cm, Tinggi : 60 cm,
Yang berukuran sedang sebanyak 40 buah, berukuran
Panjang : 45 cm, Lebar : 62 cm, Tinggi : 80 cm
Yang berukuran kecil sebanyak 34 buah, berukuran :
Panjang : 36 cm, Lebar : 21 cm, Tinggi : 20 cm
Teknik pembuatan bangunan makam ada 2 yaitu :
Khusus untuk nisan hulu keris dan gada, nampaknya selalu ditempatkan berpasangan pada setiap makam. Unsur lain yang melengkapi makam adalah gunungan yang selalu dipasang pada bagian kaki dan kepala makam namun penempatan gunungan ini biasanya pada bangunan atau jirat yang berundak .
Ragam hias yang ditampilkan di kompleks makam ini sangat bervariasi berupa hiasan florastis dalam bentuk sulur – suluran dan terdapat dalam bentuk pilin dan cakra. Selain ragam hias terdapat pula inskripsi yang menghiasi bidang – bidang nisan bentuk gada bermahkota dan jirat. Kalimat tauhid yang biasa terdapat pada inskripsi adalah Allah dan La ilaha illallah disamping tahun hijriah.
Ragam hias dan inskripsi tersebut dibuat dengan cara memahat atau mengukir batu makam sehingga tercipta ornament – ornament timbul. Secara keseluruhan bahan bangunan makam, baik jirat, kijing, nisan maupun gunungan terbuat karang.
Kompleks makam ini telah dipagar, dan untuk merawat serta memelihara kompleks makam ini telah ditempatkan juru pelihara ( honor ) dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
Status kepemilikan tanah oleh keluarga Maraddia (H. A. Manda ). Jumlah makam dikompleks ini sekitar 95 buah dan telah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Dari sejumlah makam yang ada hanya beberapa buah yang diketahui identitasnya yaitu :
- Makam Puang Tuppu, beliau termasuk salah seorang pemangku adat di kerajaan Balanipa, makamnya terletak disebelah barat kompleks.
- Pamassei, tokoh ini yang paling utama dalam kompleks makam ini, makamnya terletak persis di depan pintu gerbang kompleks makam dan berada dalam sebuah cungkup dengan dinding terali besi. Makamnya telah mengalami pemugaran khusus jiratnya telah diberi tegel keramik. Beliau merupakan anak raja Tokape ( Jaka Talluna Balanipa ) yang turut memperkuat dan melanjutkan perjuangan Maraddia Tokape di bawah pimpinan Ammana I Wewang di dalam melawan penjajah Kolonial Belanda dan sangat gigih berjuang mempersatukan kerajaan – kerajaan Mandar dan mengakhiri perang saudara yang sering terjadi.
Bangunan / jirat makam yang besar berjumlah 21 buah, berukuran :
Panjang : 364 cm, Lebar : 223 cm, Tinggi : 60 cm,
Yang berukuran sedang sebanyak 40 buah, berukuran
Panjang : 45 cm, Lebar : 62 cm, Tinggi : 80 cm
Yang berukuran kecil sebanyak 34 buah, berukuran :
Panjang : 36 cm, Lebar : 21 cm, Tinggi : 20 cm
Teknik pembuatan bangunan makam ada 2 yaitu :
- Dengan system papan batu yang dihubungkan satu dengan yangn lain diikat dengan pen membentuk bangunan berundak 2 sampai dengan 4.
- Dengan mempergunakan batu monolit ( peti batu ) dimana yang dikerjakan dan dipahat lebih lanjut hanya bagian atas jirat berupa pembuatan lubang untuk tempat nisan ditancapkan.
Khusus untuk nisan hulu keris dan gada, nampaknya selalu ditempatkan berpasangan pada setiap makam. Unsur lain yang melengkapi makam adalah gunungan yang selalu dipasang pada bagian kaki dan kepala makam namun penempatan gunungan ini biasanya pada bangunan atau jirat yang berundak .
Ragam hias yang ditampilkan di kompleks makam ini sangat bervariasi berupa hiasan florastis dalam bentuk sulur – suluran dan terdapat dalam bentuk pilin dan cakra. Selain ragam hias terdapat pula inskripsi yang menghiasi bidang – bidang nisan bentuk gada bermahkota dan jirat. Kalimat tauhid yang biasa terdapat pada inskripsi adalah Allah dan La ilaha illallah disamping tahun hijriah.
Ragam hias dan inskripsi tersebut dibuat dengan cara memahat atau mengukir batu makam sehingga tercipta ornament – ornament timbul. Secara keseluruhan bahan bangunan makam, baik jirat, kijing, nisan maupun gunungan terbuat karang.
KOMPLEKS MAKAM TOMAKAKA ALLUNG
Kompleks makam Tomakaka Allung secara administrative terletak di desa Patampanua Kecamatan Matakali Kabupaten Polewali Mandar. Situs Tomakaka Allung terletak di atas batu (gua – gua batu). Wadah makam dibuat dari kayu berbentuk persegi empat panjang.
Teknik pembuatan dilakukan dengan memahat kayu pada bagian tengah, sampai membentuk lubang, dan bagian atas dibuatpenutup yang bahannya juga dari kayu.
Temuan makam di kompleks tersebut, ada dua buah. Tokoh atau orang yang dimakamkan di lokasi pemakaman tersebut tidak diketahui lagi, dan bentuk pemakaman dilakukan dengan system pemakaman kedua (secondary burial).
Ragam hias pada wadah makam berupa erong yang oleh masyarakat Mandar menyebut Allung, berupa garis – garis dan bentuk ekor binatang pada salah satu bagiannya. Kompleks Makam itu sampai sekarang tetap terpelihara.
Ukuran Allung, pada pemakaman tersebut, adalah sebagai berikut:
Allung I, berukuran panjang 250 cm, lebar 50 cm dengan ketinggian (tinggi Allung) 47 cm. Allung II berukuran panjang 200 cm, lebar 50 cm dan tinggi 48 cm.
Teknik pembuatan dilakukan dengan memahat kayu pada bagian tengah, sampai membentuk lubang, dan bagian atas dibuatpenutup yang bahannya juga dari kayu.
Temuan makam di kompleks tersebut, ada dua buah. Tokoh atau orang yang dimakamkan di lokasi pemakaman tersebut tidak diketahui lagi, dan bentuk pemakaman dilakukan dengan system pemakaman kedua (secondary burial).
Ragam hias pada wadah makam berupa erong yang oleh masyarakat Mandar menyebut Allung, berupa garis – garis dan bentuk ekor binatang pada salah satu bagiannya. Kompleks Makam itu sampai sekarang tetap terpelihara.
Ukuran Allung, pada pemakaman tersebut, adalah sebagai berikut:
Allung I, berukuran panjang 250 cm, lebar 50 cm dengan ketinggian (tinggi Allung) 47 cm. Allung II berukuran panjang 200 cm, lebar 50 cm dan tinggi 48 cm.
MAKAM IMAM LAPEO
Makam Imam Lapeo
Lokasi makam ini terletak di desa lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat.
Makam Imam Lapeo ini berada dalam kompleks bangunan Mesjid dan disekitar Mesjid dipadati rumah – rumah penduduk. Makam ini sangat mudah dijangkau karena letaknya berada di Jalan Poros Makassar – Majene.
Bangunan makam ada 2 buah yang terletak dalam sebuah cungkup menghadap ke Timur. Yang menarik dari makam ini adalah terdapatnya semacam rangka tempat tidur dari besi di luar badan makan seakan – akan berfungsi sebagai pagar. Bangunan makamnya sendiri nampaknya sudah berupa bangunan modern berorientasi utara – selatan membentuk empat persegi panjangdengan hiasan gunungan pada bagian kepala dan kaki makam. Jumlah Undakan kedua gunungan tersebut tidak sama, gunungan di sebelah utara terdiri dari lima undakan dan undakan gunungan sebelah selatan enam undakan. Adanya perbedaan undakan ini berdasarkan konsep ajaran Islam yaitu adanya rukun Islam dan rukun Iman.
Adapun nisan makam ini hanya 1 buah terbuat dari kayu ebonik ( kayu hitam) berbentuk gadah, terdiri atas tiga bagian yaitu bagian bawah, bagian tengah dan bagian atas, masing-masing bagian bagian di batasi oleh pelipit. Ragam hias nisan dengan pola tumpal dibuat dengan cara memahat sehingga Nampak berbentuk ornament timbul.
Mengamati penempatan lokasi makam yang berada dalam komplek mesjid menunjukkan adanya kesinambungan dalam tata cara pemakaman yang berasal dari tradisi pra Islam yaitu pada pola penempatan seorang yang dianggap tokoh yang paling dihormati, biasanya penempatan makamnya dalam suatu kompleks yang dianggap suci seperti penempatan makam diatas bukit atau satu kompleks dengan mesjid. Tata laku penguburan seperti ini bersumber pada suatu gagasan atau ide tentang makro kosmos, dan mikro kosmos begitu pula tentang konsep adanya hidup setelah mati.
Berikut ini ukuran bangunan makam dan bagian-bagiannya , masing – masing :
- Panjang makam : 252 cm
- Lebar makam 120 cm
- Tinggi nisan : 100 cm
- Diameter nisan : 15 cm
- Tinggi makam hingga nisan : 122 cm
- Ukuran lingkaran dasar nisan : 80 cm
- Ukuran badan nisan : 51 cm
Makam Imam Lapeo ini berada dalam kompleks bangunan Mesjid dan disekitar Mesjid dipadati rumah – rumah penduduk. Makam ini sangat mudah dijangkau karena letaknya berada di Jalan Poros Makassar – Majene.
Bangunan makam ada 2 buah yang terletak dalam sebuah cungkup menghadap ke Timur. Yang menarik dari makam ini adalah terdapatnya semacam rangka tempat tidur dari besi di luar badan makan seakan – akan berfungsi sebagai pagar. Bangunan makamnya sendiri nampaknya sudah berupa bangunan modern berorientasi utara – selatan membentuk empat persegi panjangdengan hiasan gunungan pada bagian kepala dan kaki makam. Jumlah Undakan kedua gunungan tersebut tidak sama, gunungan di sebelah utara terdiri dari lima undakan dan undakan gunungan sebelah selatan enam undakan. Adanya perbedaan undakan ini berdasarkan konsep ajaran Islam yaitu adanya rukun Islam dan rukun Iman.
Adapun nisan makam ini hanya 1 buah terbuat dari kayu ebonik ( kayu hitam) berbentuk gadah, terdiri atas tiga bagian yaitu bagian bawah, bagian tengah dan bagian atas, masing-masing bagian bagian di batasi oleh pelipit. Ragam hias nisan dengan pola tumpal dibuat dengan cara memahat sehingga Nampak berbentuk ornament timbul.
Mengamati penempatan lokasi makam yang berada dalam komplek mesjid menunjukkan adanya kesinambungan dalam tata cara pemakaman yang berasal dari tradisi pra Islam yaitu pada pola penempatan seorang yang dianggap tokoh yang paling dihormati, biasanya penempatan makamnya dalam suatu kompleks yang dianggap suci seperti penempatan makam diatas bukit atau satu kompleks dengan mesjid. Tata laku penguburan seperti ini bersumber pada suatu gagasan atau ide tentang makro kosmos, dan mikro kosmos begitu pula tentang konsep adanya hidup setelah mati.
Berikut ini ukuran bangunan makam dan bagian-bagiannya , masing – masing :
- Panjang makam : 252 cm
- Lebar makam 120 cm
- Tinggi nisan : 100 cm
- Diameter nisan : 15 cm
- Tinggi makam hingga nisan : 122 cm
- Ukuran lingkaran dasar nisan : 80 cm
- Ukuran badan nisan : 51 cm
SYEKH ABDUL RAHIM KAMALUDDIN
Situs kompleks Makam Abdul Rahim Kamaluddin terletak di Pulau Karamasang. Secara Administratif di dusun pulau Tangnga Kelurahan Amassangang Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat. Tinggalan Budaya di situs tersebut adlah berupa makam kuno sebanyak dua buah, yakni makam Abdul Rahim Kamaluddin dan satu buah makam lainnya belum teridentifikasi.
Kompleks makam itu terletak di lingkungan Pulau Tangnga (Pulau Tosalama), berjarak ± 50 meter dari pemukiman penduduk.
Bangunan makam di kompleks makam tersebut, dibuat dari bahan batu padas khususnya nisan, sedangkan badan makam dibuat dari bahan batu kapur. Teknik pembuatan batu katu kapur dipahatberbentuk segi empat dengan ketebalan sekitar 7 cm, dan tinggi 20 cm. Batu karang yang dipahatkan tersebut dipasang pada semua sisi makam sehingga berbentuk segi empat panjang, dengan ukuran panjang 2 meter, lebar 1,73 meter. Nisan makam satu buah, dari batu padas monolit ditancapkan pada bagian tengah makam. Ukuran batu nisan tersebut tinggi 17 cm, lebar 15 cm dan ketebalan 8 cm.
Bangunan makam tersebut tidak mempunyai ragam hias, baik pada badan makam maupun pada nisannya. Sampai kegiatan inventarisasi ini dilaksanakan di lokasi makam tersebut sering sekali dikunjungi oleh masyarakat.
Tokoh utama yang dimakamkan di lokasi tersebut, adalah Abdul Rahim Kamaluddin, yang diyakini oleh masyarakat sebagai tokoh penyiar Islam pertama di Tanah Mandar.
Kompleks makam itu terletak di lingkungan Pulau Tangnga (Pulau Tosalama), berjarak ± 50 meter dari pemukiman penduduk.
Bangunan makam di kompleks makam tersebut, dibuat dari bahan batu padas khususnya nisan, sedangkan badan makam dibuat dari bahan batu kapur. Teknik pembuatan batu katu kapur dipahatberbentuk segi empat dengan ketebalan sekitar 7 cm, dan tinggi 20 cm. Batu karang yang dipahatkan tersebut dipasang pada semua sisi makam sehingga berbentuk segi empat panjang, dengan ukuran panjang 2 meter, lebar 1,73 meter. Nisan makam satu buah, dari batu padas monolit ditancapkan pada bagian tengah makam. Ukuran batu nisan tersebut tinggi 17 cm, lebar 15 cm dan ketebalan 8 cm.
Bangunan makam tersebut tidak mempunyai ragam hias, baik pada badan makam maupun pada nisannya. Sampai kegiatan inventarisasi ini dilaksanakan di lokasi makam tersebut sering sekali dikunjungi oleh masyarakat.
Tokoh utama yang dimakamkan di lokasi tersebut, adalah Abdul Rahim Kamaluddin, yang diyakini oleh masyarakat sebagai tokoh penyiar Islam pertama di Tanah Mandar.
TOSALAMA BELUWU
Situs ini terletak di desa Mapilli Barat Kecamatan Luyo Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat. Jarak dari Jalan Poros ± 3 Km dan tidak bisa dijangkau dengan kendaraan Roda Empat.
Syekh Muhammad Idris adalah salah seorang penyiar agama Islam yang terkenal di Tanah Mandar olehnya itu beliau diberikan gelar Tosalama. Tosalama terdiri dari dua kata yaotu To yang berarti Orang Salama yang berarti Selamat. Jadi Tosalama berarti Orang yang Selamat sedangkan Beluwu adalah nama sebuah perkampungan kecil.
Di kompleks Makam kuno tersebut terdpat sebanyak 89 buah bangunan makam, 19 buah diantaranya berukuran relatif besar dengan bangunan jirat berorientasi Utara ke Selatan. Bangunan makam itu delapan (8) buah diantaranya jirat makam dan nisannya dipahat menyatu padajiratnya. Tipe ini umumnya tanpa hiasan baik Floraistis maupun geometris dua (2) buah jirat yang lain berbentuk massif. Adapun ukuran jirat terbesar yaitu pnjag 1 meter, lebar 41 cm, dsan tinggi 117 cm sedangkan jirat yang berukuran sedang memiliki panjang 62 cm, lebar 11 cm, dan tinggi 50 cm dan jirat yang berukuran kecil memiliki panjang 40 cm, lebar 19 cm dan tinggi 33 cm. Klasifikasi nisan yang rekam sebanyak empat buah, masing – masing berbentuk dasarbalaok dan pipih. Nisan – nisan pipih dan nisan balok dalam bentuk gadah tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada situs lainnya, umunya terbuat dari bahan batu karang.
Syekh Muhammad Idris adalah salah seorang penyiar agama Islam yang terkenal di Tanah Mandar olehnya itu beliau diberikan gelar Tosalama. Tosalama terdiri dari dua kata yaotu To yang berarti Orang Salama yang berarti Selamat. Jadi Tosalama berarti Orang yang Selamat sedangkan Beluwu adalah nama sebuah perkampungan kecil.
Di kompleks Makam kuno tersebut terdpat sebanyak 89 buah bangunan makam, 19 buah diantaranya berukuran relatif besar dengan bangunan jirat berorientasi Utara ke Selatan. Bangunan makam itu delapan (8) buah diantaranya jirat makam dan nisannya dipahat menyatu padajiratnya. Tipe ini umumnya tanpa hiasan baik Floraistis maupun geometris dua (2) buah jirat yang lain berbentuk massif. Adapun ukuran jirat terbesar yaitu pnjag 1 meter, lebar 41 cm, dsan tinggi 117 cm sedangkan jirat yang berukuran sedang memiliki panjang 62 cm, lebar 11 cm, dan tinggi 50 cm dan jirat yang berukuran kecil memiliki panjang 40 cm, lebar 19 cm dan tinggi 33 cm. Klasifikasi nisan yang rekam sebanyak empat buah, masing – masing berbentuk dasarbalaok dan pipih. Nisan – nisan pipih dan nisan balok dalam bentuk gadah tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada situs lainnya, umunya terbuat dari bahan batu karang.
TOSALAMA DI TINAMBUNG
Secara administratif makam ini berada di Lingkungan Paggiling Kelurahan Tinambung Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Terletak di sebelah Selatan atau sekitar 200 m kompleks makam Pallabuang lokasi ini dapat dijangkau dengan berjalan kaki melewati sela-sela tanaman palawija dan tanaman perdu. Dari jalan Desa Kompleks Makam ini berjarak 600 M
Makam yang terdapat di kompleks ini sebanyak 4 buah dan salah satu diantaranya telah diberi cangkup berupa atap seng bahkan nisan yang diberi kelambu. Kondisi fisik makam ini masih baik dan nampaknya selalu mendapat perawatan.
Yang menarik dari kompleks makam ini adalah adanya satu buah makam yang tidak memperlihatkan ciri suatu makam Islam, dan makam ini makam tokoh utama yang dimakamkan dalam kompleks tersebut. Informasi lisan yang diperoleh dari masyarakat setempat menyebutkan bahwa Tosalama ini adalah seorang yang sangat sakti dan pemberani dari Kerajaan Balanipa. Bentuk makamnya sangat khas berorientasi utara selatan sebagaimana layaknya Makam Islam, namun bentuknya bundar dari batu karang putih dengan diameter 60 cm dan di tengah bundaran yang merupakan jirat makam ditancapkan sebuah nisan dengan ukuran yang sangat besar hampir sebesar jirat makam. Nisannya berupa nisan balok menyerupai Gada dengan puncak datar tanpa mahkota. Ukuran nisannya sebagai berikut :
Tinggi 82 cm, diameter 55 cm. Unsur estetika yang nampak pada nisan hanya karena terdapat 8 bingkai atau bidang pada badan nisan. Inskripsi dan pola hias tidak ditemukan sama sekali.
Makam lainnya yaitu yang berada di sebelah kiri makam ini tidak nampak lagi ciri-ciri kekunoan karena sudah diplester semen dengan nisan yang berbentuk pipih.
Makam-makam tersebut pada hari-hari tertentu senantiasa mendapat kunjungan dari daerah Mandar maupun daerah lainnya karena diyakini sebagai makam tokoh yang dapat mengabulkan segala harapan dan keinginan manusia.
Makam yang terdapat di kompleks ini sebanyak 4 buah dan salah satu diantaranya telah diberi cangkup berupa atap seng bahkan nisan yang diberi kelambu. Kondisi fisik makam ini masih baik dan nampaknya selalu mendapat perawatan.
Yang menarik dari kompleks makam ini adalah adanya satu buah makam yang tidak memperlihatkan ciri suatu makam Islam, dan makam ini makam tokoh utama yang dimakamkan dalam kompleks tersebut. Informasi lisan yang diperoleh dari masyarakat setempat menyebutkan bahwa Tosalama ini adalah seorang yang sangat sakti dan pemberani dari Kerajaan Balanipa. Bentuk makamnya sangat khas berorientasi utara selatan sebagaimana layaknya Makam Islam, namun bentuknya bundar dari batu karang putih dengan diameter 60 cm dan di tengah bundaran yang merupakan jirat makam ditancapkan sebuah nisan dengan ukuran yang sangat besar hampir sebesar jirat makam. Nisannya berupa nisan balok menyerupai Gada dengan puncak datar tanpa mahkota. Ukuran nisannya sebagai berikut :
Tinggi 82 cm, diameter 55 cm. Unsur estetika yang nampak pada nisan hanya karena terdapat 8 bingkai atau bidang pada badan nisan. Inskripsi dan pola hias tidak ditemukan sama sekali.
Makam lainnya yaitu yang berada di sebelah kiri makam ini tidak nampak lagi ciri-ciri kekunoan karena sudah diplester semen dengan nisan yang berbentuk pipih.
Makam-makam tersebut pada hari-hari tertentu senantiasa mendapat kunjungan dari daerah Mandar maupun daerah lainnya karena diyakini sebagai makam tokoh yang dapat mengabulkan segala harapan dan keinginan manusia.
KOMPLEKS MAKAM GALETTO
Kompleks makam ini berada dalam wilayah desa Tamangalle, Kecamatan Balanipa , Kabupaten Polewali Mandar, berjarak sekitar 100 meter dari pantai. Situs ini dapat dijangkau dengan berjalan kaki meyelusuri sepanjang pantai. Kompleks makam tersebut telah dipagar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar seluas 50 x 30 meter dengan status tanah milik pribadi masyarakat. Di dalam kompleks ini selain makam – makam kuno juga terdapat makam baru.
Mengamati bentukmakam yang berdenah empat persegi panjang dengan arah bujur utara – selatan memberikan indikasi makam Islam. Kondisi fisik makam kuno sebahagian telah rusak, yang utuh hanya 4 (empat) buah. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Sangngang Pabbicara Butta dan Gau. Kedua makam ini sekalipun nisannnya berbentuk hulu keris dan gadah bermahkota, demikian pula nisan pipih dalam bentuk trisula masih menampilkan cirri – cri kekunoan, namun jiratnya telah mengalai pemugaran dalam bentuk pemberian tegel keramik.
Memperhatikan bentuk bangunan makam rupanya menampilka teknik pembuatan seperti pada bangunan makam lainnya di daerah Tinambung yaitu berupa jirat makam yang dibentuk dari balok – balok batu yang dipahat membentuk sebuah bangunan berundak 2 sampai 4 dan pada undakan teratas dipercantik dengan gunungan, bentuk lainnya berupa pemakaian batu monolit tanpa gunungan. Ukuran Makam di kompleks inipun bervariasi ada yang besar dan ada yang kecil:
Nisan yang merupakan komponen pokok yang selalu hadir pada setiap makam di kompleks ini, nisannya terdiri dari nisan gada bermahkota, nisan hulu keris dan nisan pipih. Untuk member nuansa keindahan maka ditampilkan berbagai bentu ragam hias, dengan cara mengukir batu makam sehingga menyerupai lukisan timbul. Penempatan ragam hias floraistis dan geometris dan bentuk pilin pada umumnya mengambil tempat pada bidang jirat makam, sedangkan ragam hias medallion dan inskripsi yang berisi kalimat Allah dan Muhammad dalam bentuk yang disamarkan menempati gunungan dan nisan makam. Lebih khusus lagi pemberian hiasan dekoratif ini hanya ditemukan pada bangunan makam yang besar dan berundak sedangkan pada jirat makam monolit tidak diberi hiasan sama sekali. Keseluruhan bahan pembuatan bangunan makam adalah batu karang.
Mengamati bentukmakam yang berdenah empat persegi panjang dengan arah bujur utara – selatan memberikan indikasi makam Islam. Kondisi fisik makam kuno sebahagian telah rusak, yang utuh hanya 4 (empat) buah. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Sangngang Pabbicara Butta dan Gau. Kedua makam ini sekalipun nisannnya berbentuk hulu keris dan gadah bermahkota, demikian pula nisan pipih dalam bentuk trisula masih menampilkan cirri – cri kekunoan, namun jiratnya telah mengalai pemugaran dalam bentuk pemberian tegel keramik.
Memperhatikan bentuk bangunan makam rupanya menampilka teknik pembuatan seperti pada bangunan makam lainnya di daerah Tinambung yaitu berupa jirat makam yang dibentuk dari balok – balok batu yang dipahat membentuk sebuah bangunan berundak 2 sampai 4 dan pada undakan teratas dipercantik dengan gunungan, bentuk lainnya berupa pemakaian batu monolit tanpa gunungan. Ukuran Makam di kompleks inipun bervariasi ada yang besar dan ada yang kecil:
- Makam yang besar, berukuran :
- Makam yang kecil, berukuran :
Nisan yang merupakan komponen pokok yang selalu hadir pada setiap makam di kompleks ini, nisannya terdiri dari nisan gada bermahkota, nisan hulu keris dan nisan pipih. Untuk member nuansa keindahan maka ditampilkan berbagai bentu ragam hias, dengan cara mengukir batu makam sehingga menyerupai lukisan timbul. Penempatan ragam hias floraistis dan geometris dan bentuk pilin pada umumnya mengambil tempat pada bidang jirat makam, sedangkan ragam hias medallion dan inskripsi yang berisi kalimat Allah dan Muhammad dalam bentuk yang disamarkan menempati gunungan dan nisan makam. Lebih khusus lagi pemberian hiasan dekoratif ini hanya ditemukan pada bangunan makam yang besar dan berundak sedangkan pada jirat makam monolit tidak diberi hiasan sama sekali. Keseluruhan bahan pembuatan bangunan makam adalah batu karang.
ALLAMUNGAN BATU DI LUYO
Di sebuah daerah yang bernama Luyo kini kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat pada masa Pemerintahan Tomepayung (Raja Balanipa II) sekitar awal Abad XVIII. Pitu Ulunna Salu (Tujuh Kerajaan di Hulu/Gunung) dan Pitu Ba`bana Binanga (Tujuh Kerajaan di Pesisir Pantai) meletakkan satu dasar perdamaian yang lebih dikenal dengan sebutan “Allamungan Batu”.
Pitu Ulunna Salu yang terdiri dari : Tabulahan , Rantebulahan, Mambi, Aralle, Bambang, Matangnga, Tabang
Pitu Ba`bana Binanga terdiri dari : Balanipa, , Sendana, Banggae, Pamboang, Mamuju, Tapalang, Binuang
Kerajaan – Kerajaan inilah yang mengadakan perjanjian yang lebih dikenal dengan Allamungan Batu di Luyo Pitu Ulunna Salu diwakili oleh Londong Dehata dan Pitu Ba`bana Binanga diwakili oleh Tomepayung yang pada akhirnya melahirkan tiga Poin kesepakatan yaitu:“
Di Pitu Ulunna Salu memiliki sapu tangan atau sehelai kain yang diikatkan sebagai pengganti kopiah, sedangkan Pitu Ba`bana Binanga berpegang pada simbolong (sanggul perempuan) yang diikatkan pada pinggang. Perdamaian antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba`bana Binanga itu dikuatkan lagi dengan satu semboyan, “sisara`pai mata mapute anna` mata malotong anna` sisara` Pitu Ulunna Salu anna` Pitu Ba`bana Binanga”.
Kedua perwakilan dari kedua wilayah (daerah) tersebut berpesan, sekiranya besok lusa terdapat ucapan atau kekeliruan diantara warga wilayah ini maka salah satu pihak wajib saling mengingatkan. Jika satu diantaranya roboh, kita saling menopang. Semoga pesan ini kita bias wariskan kepada anak cucu. Bila berpegang teguh pada keduanya, maka sengketa dan perang tak akan terulang lagi dikemudian hari. Inilah yang memungkinkan untuk dijadikan landasan dalam menghormati kedaulatan masing – masing wilayah, saling membantu dalam menghadapi musuh dan memperarat hubungan kekeluargaan.
Dari perjanjian ini pula lahir kata Sipamandar/Sipamanda` yang berarti saling menguatkan yang kemudian lebih popular dengan kata Mandar yang melekat hingga kini di Jazirah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba`bana Binanga. Satu hal yang menarik pasca “deklarasi” perjanjian itu (Allamungan Batu) hampir bias dikatakan pertikaian pun sirna. Sebuah peletakan dasar dalam membangun suatu peradaban dikawasan yang luas ini, yang dirumuskan dan dikukuhkan pada masa silam menorehkan sebuah prestasi yang agung. Katakanlah, perdamaian ini digagas oleh para pemimpin kerajaan pada masa lalu yang merupakan tonggak berdirinya “demokrasi”.
Perlu diketahui bahwa Wilayah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba`bana Binanga merupakan dasar dari penentuan wilayah Propinsi Sulawesi Barat sekarang ini. Jadi dapat diakatakan bahwa wilayah Mandar yang sekarang jadi Sulawesi Barat lahir di sebuah Desa kecil yang bernama Desa Luyo, Kecamatan Luyo Kabupaten Polewali Mandar.
Pitu Ulunna Salu yang terdiri dari : Tabulahan , Rantebulahan, Mambi, Aralle, Bambang, Matangnga, Tabang
Pitu Ba`bana Binanga terdiri dari : Balanipa, , Sendana, Banggae, Pamboang, Mamuju, Tapalang, Binuang
Kerajaan – Kerajaan inilah yang mengadakan perjanjian yang lebih dikenal dengan Allamungan Batu di Luyo Pitu Ulunna Salu diwakili oleh Londong Dehata dan Pitu Ba`bana Binanga diwakili oleh Tomepayung yang pada akhirnya melahirkan tiga Poin kesepakatan yaitu:“
- To di Ba`bana Binanga nammemmata di mangiwang, di Pitu Ulunna Salu namemmata di saha.” Maknanya, bila ada musuh yang datang dari arah pesisir Pantai, maka Pitu Ba`bana Binanga akan menangkalnya, sebaliknya bila ada musuh yang datang dari pegunungan, maka Pitu Ulunna Salu yang menangkalnya.
- “Sisara`pai mata mapute anna mata malotong anna mane sisara`I Pitu Ulunna Salu anna` Pitu Ba`bana Binanga.” Maknanya, hanya dengan berpisahnya bola mata yang berwarna putih dan bola mata yang berwarna hitam baru bisa terpisahkan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba`bana Binanga.
- “Sapala Tappere disolai”. Maknanya Satu Tikar Bersama.
Di Pitu Ulunna Salu memiliki sapu tangan atau sehelai kain yang diikatkan sebagai pengganti kopiah, sedangkan Pitu Ba`bana Binanga berpegang pada simbolong (sanggul perempuan) yang diikatkan pada pinggang. Perdamaian antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba`bana Binanga itu dikuatkan lagi dengan satu semboyan, “sisara`pai mata mapute anna` mata malotong anna` sisara` Pitu Ulunna Salu anna` Pitu Ba`bana Binanga”.
Kedua perwakilan dari kedua wilayah (daerah) tersebut berpesan, sekiranya besok lusa terdapat ucapan atau kekeliruan diantara warga wilayah ini maka salah satu pihak wajib saling mengingatkan. Jika satu diantaranya roboh, kita saling menopang. Semoga pesan ini kita bias wariskan kepada anak cucu. Bila berpegang teguh pada keduanya, maka sengketa dan perang tak akan terulang lagi dikemudian hari. Inilah yang memungkinkan untuk dijadikan landasan dalam menghormati kedaulatan masing – masing wilayah, saling membantu dalam menghadapi musuh dan memperarat hubungan kekeluargaan.
Dari perjanjian ini pula lahir kata Sipamandar/Sipamanda` yang berarti saling menguatkan yang kemudian lebih popular dengan kata Mandar yang melekat hingga kini di Jazirah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba`bana Binanga. Satu hal yang menarik pasca “deklarasi” perjanjian itu (Allamungan Batu) hampir bias dikatakan pertikaian pun sirna. Sebuah peletakan dasar dalam membangun suatu peradaban dikawasan yang luas ini, yang dirumuskan dan dikukuhkan pada masa silam menorehkan sebuah prestasi yang agung. Katakanlah, perdamaian ini digagas oleh para pemimpin kerajaan pada masa lalu yang merupakan tonggak berdirinya “demokrasi”.
Perlu diketahui bahwa Wilayah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba`bana Binanga merupakan dasar dari penentuan wilayah Propinsi Sulawesi Barat sekarang ini. Jadi dapat diakatakan bahwa wilayah Mandar yang sekarang jadi Sulawesi Barat lahir di sebuah Desa kecil yang bernama Desa Luyo, Kecamatan Luyo Kabupaten Polewali Mandar.